Rabu, 21 Maret 2012

Budaya Urbanisasi di Perkotaan. (Oleh : Dra. L.V.Ratna Devi S. M.Si. )

Urbanisasi yang dilakukan oleh kaum boro dalam prosesnya adalah perkembangan kota, dan budaya kota ke daerah-daerah di sekitarnya sebagai daya tarik penduduk ke kota serta penyebaran pengaruh cara hidup di kota Surakarta. Cara hidup yang dibawa masuk ke kota Surakarta oleh masing-masing pendatang, menyebabkan terjadinya percampuran. Jika pencampuran ini terinternalized dalam kehidupan sehari-hari dan dalam sebaran yang luas, maka jadilah cara hidup ini sebagai kebiasaan yang pada tingkatan tertentu menjadi budaya.

Budaya urbanisasi diperkotaan, ternyata dapat diurai menjadi 5 konsepsi yang dipahami oleh masyarakat pendatang. 6 komunitas yang menjadi sampel dalam penelitian ini yaitu; Komunitas Sopir (Orang Jalanan), Komunitas Pedagang Pasar Tradisional, Komunitas Anak jalanan, Komunitas Punk, Komunitas Bisnisman dan Komunitas Pemukiman Liar, diharapkan mampu memberi gambaran budaya urbanisasi di Perkotaan.

Pada umumnya (dari 6 komunitas sampel) memberi penjelasan tentang konsepsi citra kota, bahwa citra kota dilihat dari kenyamanan tinggal dan kesan terhadap kota. Meskipun ditemukan 2 karakter interaksi/pergaulan,2 model hubungan sosial dan 3 macam kesan terhadap kota saat ini mereka tinggal dan sebagai tempat mengais rejeki, tetapi citra kota dikonsepkan oleg para pendatang ini, sesuai dengan perilaku keseharian mereka, dalam berinteraksi maupun berhubungan sosial, sehingga menimbulkan kesan terhadap kota. Bagi komunitas yang oleh lingkungannya tidak dapat diterima (komunitas Punk), citra kota yang terbentuk adalah citra yang menyebabkan diri mereka tidak nyaman, merasa terpinggirkan dan merasa kurang harmonis saat berhubungan sosial maupun berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini dikarenakan mereka berbeda dengan lingkungannya. Berbeda dengan komunitas yang tinggal di lingkungan yang budayanya sama dengan mereka (Komunitas permukiman liar, komunitas sopir/orang jalanan, komunitas anak jalanan), apalagi budaya dan kebiasaan yang berasal dari tempat tinggal mereka semula. Mereka nyaman, dan merasa baik-baik saja, meskipun tidak memberi kontribusi terhadap kemapanan hidup yang mereka impikan. Memang ada juga komunitas yang cepat beradaptasi (komunitas bisnisman, komunitas pasaar tradisional) dengan lingkungan baru mereka baik di tempat tinggal maupun di tempat kerja. Mereka merasa kota Solo adalah kota yang banyak memiliki peluang usaha, banyak pembeli, dan banyak barang yang ditawarkan.

Konsepsi tentang tanah dan kepemilikan tanah bagi kaum pendatang ini dikonsepkan sebagai berikut; konsepsi tentang tanah , tanah untuk omah dan tanah untuk omah serta tempat usaha. Rumah/Omah adalah tempat mereka berteduk dari hujan dan panas. Melepas lelah setelah selesai bekerja, bagi yang membawa keluarga tempat berkumpul dan bertemu keluarga. Datang ke kota tujuannya adalah mencari peningkatan taraf hidup lebih baik, maka Rumah adalah yang harus dimiliki sebagai tanda keberhasilan, kemapanan dan prestise yang harus diraih. Apalagi rumah sebagi tempat tinggal sekaligus sebagai tempat usaha, benar-benar merupakan value yang harus diraih. Adapun kepemilikan tanah dikonsepkan suatu keharusan yang perlu dicapai, karena dengan memiliki tanah, yang dapat dibangun rumah, akan mengurangi biaya sewa, baik untuk tempat tinggal, gudang, tempat usaha. Konsep ini mubncul karena adanya kebiasaan dalam menggunakan tanah. Apalagi di kota, tanah yang sempit dan mahal, menjadi sebuah prestise tersendiri jika memilikinya, dan penggunaan tanah ini adalah untuk rumah. Sering yang disebut rumah ini tidak layak huni, karena tidak memiliki WC, tempat cuci, dan ruang-ruang lain yang seharusnya ada dalam rumah. Tetapi mereka tetap membuat rumah bagi mereka, untukntempat pulang.

Konsepsi tentang jarak sosial, dikonsepkan oleh para pendatang dengan 3 hal, yaitu kebersamaan dengan keluarga besar , hubungan di tempat kerja dan kebertetanggaan. Ketiga hal ini sangat berkaitan dengan jam kerja. Waktu yang digunakan untuk bekerja rata-rata 6 – 12 jam perhari, menyebabkan sangat jarang sekali bertemu dengan keluarga besar. Hanya satu tahun sekali di hari besar keagamaan maupun jika ada perhelatan saja dirumah keluarga,. Dan arisan mereka baru dapat bertemu. Bahkan mereka yang tidak tinggal dengan keluarga intinya (nuclea family) juga tidak dapat bertemu setiap saat. Hubungan ditempat kerja mereka lakukan ditempat kerja saja, dan jika ada keperluan mereka menghubungi lewat telpun selular. Tidak semua pekerjaan menimbulkan pertemanan yang akrab, jika pekerjaan dilakukan sendiri maka tidak ada teman akrab. Demikian juga dengan kebertetanggan, waktu kerja yang panjang, tidak memungkinakan mereka menjumpai tetangganya. Jadi konsepsi mereka tentang jarak sosial sangat dipengaruhi oleh waktu bekerja yang rata-rata panjang, bahkan seharian.

Konsepsi penguasaan kota pada suatu wilayah perkotaan menurut mereka adalah penguasaan yang berkaitan dengan perkembangan kota. Bidang yang paling menonjol dan dianggap menguasai kota adalah bidah seni dan budaya. Bidang ini banyak diprakarsai pemerintah kota, sehingga menimbulkan persepsi bahwa yang menguasai kota adalah pemerintah, terutama walikota. Adapun yang duduk di pemerintahan kebanyakan etnis Jawa, sehingga mereka menganggap bahwa etnis Jawalah yang menguasai kota. Meskipun ada jiga bidang lain yang juga tak kalang menonjolnya, yaitu bidang ekonomi, yang menurut anggapan mereka banyak dukuasai etnis Cina. Jika bicara dari sisi ekonomi maka etnis Cina lah yang berkuasa. Maka konsep penguasaan kota sangat berkaitan dengan penguasa kota baik perseorangan maupun kelompok.

Konsepsi Ruang politis pada suatu wilayah perkotaan, dikonsepkan oleh mereka suatu tempat yang dapat menampung aspirasi untuk mempertahankan eksistensi, dan sebagai ruang aktualisasi mereka. Perkumpulan yang ada di temmpat tinggal dan di tempat kerja dibentuk untuk kebutuhan tersebut, sebagi tempat mereka berkegiatan selain bekerja. Berkegiatan di perkumpulan ini bukan untuk sesuatu kontribusi mendapatkan peningkatan taraf hidup, tetapi lebih sebagai tempat pengakuan komunitas terhadap keberadaan/eksistensi mereka. Oleh sebab itu meskipun sebagai anggota tetapi tidak berpartisipasi secara maksimal. Ada kegiatan ya ikut, tidak ikut sebagi pengurus maupun sebagai pengambil keputusan. Rata-rata mereka tergabung dalam perkumpulan ini.

Konsepsi tentang ruang perkotaan , dikonsepkan oleh mereka bahwa bahwa kota terdiri dari tempat-tempat yang dulu sepi sekarang ramai. Penduduk makin memadati ruang-ruang di kota yang dulu kosong. Pembangunan meluas menempati ruang-ruang yang dulu belum ada bangunannya. Sebagai akibatnya ruang dipenuhi juga saranasaran yang menghubungakan satu ruang yang ramai dengan ruang yang lain. Hal ini disebabkan pendatang baru yang masuk ke kota semakin hari semakin banyak.

0 komentar: