Tentang Persahabatan

Kesalahan hanya membuatmu dewasa. Senyuman mampu meringankan luka. Sahabat akan selalu ada di saat kamu membutuhkannya.

Tentang Impian

Jangan menyerah atas impianmu. Impian memberimu tujuan hidup. Ingatlah, sukses bukan kunci kebahagiaan. Semangat!

Indahnya Saling Menghargai

Belajarlah dari mereka di atasmu. Nikmati hidup bersama mereka di sampingmu. Jangan remehkan mereka di bawahmu.

Tentang Ikhlas

Semakin merasa banyak berjasa, semakin banyak kekecewaan yang dirasa. Maka kunci agar tidak kecewa hanyalah keikhlasan.

Tentang Waktu

Waktu adalah modal utama. Maka berbahagialah bagi siapaun yang pandai mengatur dan memanfaatkan waktu.

Kamis, 22 Maret 2012

REVITALISASI PASAR TRADISIONAL PADA MASYARAKAT MODERN(Oleh : L.V.Ratna Devi S)

Kondisi Pasar tradisional saat ini

Dengan berjalannya waktu peran pasar tradisional akan terus menurun. Selain itu peran pasar tradisional skala kecil-menengah di perkotan terancam hadirnya pedagang keliling dan warung di perkampungan. Pada sisi lain, kehadiran mereka adalah solusi yang jitu bagi kalangan menengah-bawah untuk belanja harian tanpa harus ke pasar. Sehingga menghemat biaya transportasi. Akibatnya akan terdapat beberapa pasar tradisional yang tutup karena kehilangan fungsinya.

Hilangnya pasar tradisional yang berpuluh tahun menjadi penghubung perekonomian perdesaan dengan perkotaan, dikhawatirkan akan mengakibatkan hilangnya lapangan pekerjaan. Mempertahankan pasar tradisional secara fisik, mudah. Tetapi mempertahankan fungsinya jauh lebih sulit.

Faktor preferensi dan perilaku masyarakat yang berubah akibat perubahan tingkat pendapatan, cara hidup, ketersediaan waktu luang dan kemajuan teknologi, biaya transportasi, urbanisasi dan globalisasi mempengaruhi jumlah pengguna pasar tradisional skala kecil-menengah

Saat ini banyak ibu rumah tangga kelas menengah-atas yang bekerja di luar rumah berbelanja kebutuhan rumah tangga lebih efisien jika dilakukan dalam jumlah banyak dan tidak dilakukan tiap hari. Dalam kondisi seperti ini, berbelanja di pasar modern lebih disukai, karena pengemasan yang lebih baik, sehingga barang yan bersifat mudah rusak (perishable) dapat tahan lebih lama meski dengan harga sedikit mahal. Dengan melakukan pembelanjaan dalam jumlah besar dapat menghemat biaya transportasi , meminimalkan waktu produktif yang hilang, dan mengisi waktu luang untuk berbelanja sambil berekreasi.

Tidak semua pasar tradisional mengalami penurunan peminat. Pasar tradisional yang melibatkan transaksi dalam jumlah besar, terutama yang tematik (pasar buah, sayuran, batik, tekstil) akan lebih dapat bertahan meskipun bermunculan pasar modern. Kondisi ini menunjukkan peran preferensi (pilihan) masyarakat dan skala transaksi, menentukan keberadaan suatu pasar tradisional

Signifikansi Pasar Tradisional dilindungi

Ide dasar dari sebuah pasar adalah agar segala proses transaksi, pertukaran barang & jasa berlangsung dengan biaya transaksi yang rendah dan efektif, adil dan secara social melibatkan banyak pelaku yang berkepentingan , secara ekonomi bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat maupun secara financial menguntungkan bagi semua pelaku didalamnya, baik penjual, pembeli maupun pelaku pendukung dan tak ketinggalan pula pentingnya peran otoritas pasar sekaligus sebagai pengelola pasar.

Sejalan dengan ide dasarnya, peran dan fungsi pasar adalah sebagai locus transaksi untuk mengurangi ketidaksetaraan informasi (asymmetric information), menekan biaya transaksi (transaction cost) dan meningkatkan kepercayaan (trust) (S.Leksono, 2009).

Dalam pasar tradisional transaksi barang tidak dapat ditarik menurut perspektif dikhotomis “keuntungan yang maksimal, kerugian yang minimal”. Seorang pedagang tidak sekedar menerima uang dan pihak lain menerima barang, tetapi terdapat kebutuhan social yang ingin didapat dari pihak lain, yakni penghargaan yang bersifat timbal-balik berlangsung dalam hubungan yang setara, terjalin ikatan hubungan personal emosional. Demikian juga dengan konsumen/pelanggan tidak semata mendapat sesuatu barang yang diperlukan, tetapi terdapat “kepuasan” lain yang diperlukan, diantaranya tempat dan dengan siapa penjual yang dihadapinya. Dalam budaya masyarakat timur, berbelanja sambil bersosialisasi adalah lebih menjadi preferensi dari pada berbelanja secara individualis, maka berbelanja sambil tukar bicara adalah salah satu modus pemuas kebutuhan, atau sebagai salah satu bagian yang menyertai komoditi yang harus dipenuhi.

Dalam penelitian S.Leksono (2009) menemukan bahwa pasar tradisional adalah sebagai modus interaksi social-budaya bahkan pasar juga mengandung fungsi religius sebagai sarana ibadah. Selain itu pasar tradisional dengan harga luncurnya padanya terkandung transaction cost dan bahkan asymmetric information. Dari korbanan waktu, proses tawar-menawar adalah merupakan biaya transaksi, akan tetapi jika didalamnya berlangsung pula proses komunikasi yang dapat menunjukkan kejelasan tentang karakter obyek barang yang diperjual belikan serta terjadi proses penyesuaian harga maka asymmetric information akan menyusut jauh. Disini proses transaksi mempunyai peluang akan berkelanjutan berdasarkan interaksi social yang terjadi karena diantara keduanya menjadi saling kenal.

Signifikansi pasar tradisional dilindungi dapat dilihat dari fungsi sosial ekonomi pasar. Pasar merupakan salah satu institusi ekonomi yang ada di masyarakat. Pasar menjadi sarana pertemuan antara pembeli dan penjual. Untuk melakukan transaksi ekonomi. aktivitas ekonomi di Pasar tradisional cenderung melihat hubungan aspek-aspek ekonomis dan non ekonomis dari kehidupan pasar yang mempengaruhi proses-proses ekonomi. aktivitas–aktivitas ekonomi seperti produksi, distribusi perdagangan dan konsumsi ini bagaimana nantinya akan disusun ke dalam peranan-peranan dan kolektivitas; dengan nilai-nilai apa ia dilegitimasi; dan dengan norma-norma serta sanksi apa ia diatur (Smelser, 1987).

Pemahaman fungsi pasar dari sudut pandang ekonomi lebih mengarah pada prinsip-prinsip resiprositas, persaingan pelaku ekonomi maupun aktivitas ekonomi yang dilakukan serta penerapan prinsip-prinsip ekonomi. Namun demikian, berbagai pengalaman sejarah perkembangan ekonomi menunjukkan bahwa persoalan ekonomi tidak hanya menyangkut ekonomi an sich tetapi terkait dan melekat pada institusi-institusi lain dari masyarakat seperti agama, politik dan pemerintah, budaya dan seterusnya. Dengan kata lain, persoalan ekonomi juga perlu mempertimbangkan institusi-institusi masyarakat lainnya yang dapat memperlancar atau menghambat aktivitas-aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh aktor-aktor ekonomi.

Pendekatan sosial ekonomi salah satunya diperkenalkan oleh Max Weber (1978) yang memberikan garis batasnya dengan menekankan bahwa tindakan ekonomi sejauh ia mempunyai dimensi sosial dan selalu melibatkan makna serta berhubungan dengan kekuasaan. Weber menetapkan sudut pandang sosiologi ekonomi pada 3 unsur : (1) tindakan ekonomi adalah tindakan social, (2) tindakan ekonomi selalu melibatkan makna (3) tindakan ekonomi selalu memperhatikan kekuasaan. Sementara J.Schumpeter (1981) menempatkan konteks institusional dari ekonomi dan bukan ekonomi itu sendiri. Bahwa kita menggunakan deskripsi dan interpretasi tentang institusi-institusi yang relevan secara ekonomi, termasuk kebiasaan dan semua bentuk perilaku umumnya, seperti pemerintah, hak milik, perilaku rasional atau tradisional.

Sejalan dengan kedua pemikiran di atas, Swedberg dan Granovetter (1992:6-19) mengajukan tiga proposisi utama, yaitu :

1. Tindakan ekonomi adalah suatu bentuk dari tindakan social

2. Tindakan ekonomi disituasikan secara social

3. Institusi-institusi ekonomi dikonstruksi secara social

Menurut Granoveter (1985) tindakan actor lebih melekat ke dalam hubungan social konkret yang sedang berlangsung. Ini berarti bahwa actor mendefinisikan situasi sosialnya terlebih dahulu sebelum menanggapi orang lain. Ini sejalan denga Weber yang mengemukakan bahwa tindakan ekonomi tidak dipandang sebagai fenomena stimulus-respon yang sederhana, tetapi lebih kepada hasil dari suatu proses yang dilakukan oleh individu dalam proses hubungan social yang sedang berlangsung. Dengan kata lain, tindakan ekonomi disituasikan secara social dan melekat dalam jaringan social personal yang sedang berlangsung dari para actor (embeddedness). Hal ini tidak hanya terbatas terhadap tindakan actor individual sendiri tetapi juga mencakup perilaku ekonomiyang lebih luas, seperti penetapan harga dan institusi-institusi ekonomi yang semuanya terpendam dalam suatu jaringan hubungan social. Institusi yang ada akan lebih tepat dipandang sebagai konstruksi social atas kenyataan. Institusi-institusi yang ada dikonstruksi dengan mobilisasi sumber-sumber melalui jaringan social, dan dibangun dengan pertimbangan latar belakang masyarakat, politik, pasar dan teknologi.

Kondisi di atas sangat nampak sekali dalam kehidupan ekonomi di pasar tradisional. Kepercayaan (trust), sebagai salah satu institusi social, yang merupakan moralitas umum dalam perilaku ekonomi tidak muncul seketika tetapi terbit dari proses hubungan antar pribadi dari actor-aktor yang sudah lama terlibat dalam perilaku ekonomi secara bersama. Ia terus-menerus ditafsirkan dan dinilai oleh para actor yang terlibat dalam hubungan perilaku ekonomi. Salah satu peran konkret dari kepercayaan adalah bertambah dan berkurangnya jumlah kredit yang diperoleh dalam transaksi jual beli. Hal ini merupakan graduasi kepercayaan yang merupakan hasil dari proses jaringan hubungan social yang telah dan sedang terjadi dalam hubungan daganmg yang dilakukan.

Jaringan hubungan social yang melihat bagaimana individu terkait dengan individu lainnya dan bagaimana ikatan afiliasi melayani untuk memperoleh sesuatu maupun sebagai perekat yang memberikan tatanan dan makna pada kehidupan social (Powel Smith-Doerr dalam Damsar, 1997). Lebih jauh disampaikan bahwa pendekatan analisis terhadap jaringan social menekankan analisis abstrak pada :

a. pola informal dalam organisasi

b. bagaimana lingkungan dalam organisasi dikonstruksi (segi normative, system kepercayaan, hak profesi, sumber-sumber legitimasi)

c. suatu alat penelitian formal untuk menganalisis kekuasaan dan otonomi, area ini terdiri dari struktur social sebagai pola hubungan unit-unit social yang terkait.

Berbagai terminology di atas memberikan sebuah kerangka pemikiran terhadap peran social ekonomi akan entitas sebuah pasar, terutama pasar tradisional, sebagai institusi pelayanan publik. Berbagai aspek non ekonomis turut berpengaruh dan turut menentukan tindakan ekonomi yang dilakukan.

Fungsi Layanan Pasar

Telah dijelaskan di atas bahwa pasar menjadi sarana pertemuan antara penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi pemenuhan barang yang dikehendaki. Dalam konteks kajian ini, dibatasi pada keberadaan pasar secara konkret dimana terdapat lokus kajian yang nyata dan actor yang langsung terlibat dalam transaksi yang dilakukan. Secara umum karakteristik pasar dalam bentuk ini terbagi dalam bentuk pasar tradisional dan pasar modern. Hal pokok yang mencirikannya adalah system manajemen pasar, kualitas interaksi dan transaksi serta fasilitas fisik yang diberikan.

Sejalan dengan sudut pandang fungsi social ekonomi yang diuraikan sebelumnya, maka kajian ini membatasi pada bentuk layanan public dari sebuah pasar tradisional. Sebuah bentuk layanan public dituntut untuk dapat memberikan pelayanan prima bagi penggunanya (baca : konsumen). Untuk mempermudah pamahaman pasar sebagai sebuah bentuk pelayanan prima, dapat dilakukan dengan menempatkan pelayanan sebagai sebuah produk, yaitu sebagai sesuatu yang bias dibangun, dihasilkan, ditawarkan, dijual dan dikonsumsi. Rangkaian ini untuk menggambarkan elemen-elemen pelayanan sebagaimana yang dirasakan konsumen untuk melengkapi karakteristik-karakteristik pelayanan serta pemahaman konsep kualitas pelayanan yang diterima.

Tentang pelayanan Bery (1983) yang membahas mengenai bagaimana meningkatkan pelayanan dengan membangun pelayanan inti/pokok melalui sebuah strategi hubungan konsumen. Dengan menekankan pelayanan pokok ini, para konsumen/pelanggan akan mendapatkan keuntungan mereka dan dengan demikian mereka lebih menyukai melakukan hubungan bisnis dengan pihak yang melayaninya.

Pada dasarnya bentuk layanan terbagi dalam 2 kategori, yaitu layanan pokok (core service/main service) dan layanan pendukung (auxiliary services or extras). Pelayanan pokok adalah hal dasar yang mutlak harus ada untuk pasar. Agar bias digunakan, membutuhkan peran layanan penunjang. Layanan ini tidak berhubungan langsung dengan peranan payanan pokok.

Pelayanan sebagai produk harus berorientasi pada pembeli/pelanggan. Itu artinya, seluruh aspek kualitas fungsi pelayanan tercakup didalamnya, seluruh aspek yang bias menarik pelanggan harus diperhatikan dalam pelayanan. Bagaimana interaksi antara pembeli dengan pemberi layanan serta hasil terbaik yang diterima pembeli harus diperhitungkan. Apa yang harus direncanakan dan dipasarkan kepada pelanggan tidak hanya sekedar sebuah kemasan layanan, melainkan keseluruhan produk penawaran layanan.

Pemahaman pasar sebagai sebuah produk pelayanan adalah mempertimbangkan aspek manajerial pasar sebagai priorotas pengkajian. Muara pemikiran ini akan menghasilkan sebuah langkah yang konkret untuk melakukan penataan pasar tradisional dengan pola manajerial yang maju (baca : modern). Dengan tidak menghilangkan karakteristik dari sebuah pasar tradisional, maka pendekatan manajemen komunitas menjadi alternative penataan yang dilakukan.

Managemen komunitas, pedagang menjadi bagian dari pembangunan

Pendekatan manajemen komunitas menempatkan unsur pemerintah kota (melalui Dinas Pasar dan Instansi terkait), warga pasar dan stakeholder lain dalam sebuah transparansi komunikasi dan saling mempercayai sehingga suasana pasar nyaman dan aman bagi kelangsungan usaha pada pedagang dan komponen pasar lainnya.

Dalam era otonomi daerah pemerintah melaksanakan perannya sebagai fasilitator sekaligus sebagai inisiator pembangunan. Pembangunan yang bertujuan menciptakan kesejahteraan serta keadilan bagi masyarakat, lebih tepat sasaran ketika masyarakat sendiri ikut serta menentukan agenda pembangunan. Inilah pentingnya paradigma pemerintah sebagai pelayanan publik yang berprinsip pada demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah.

Manajemen komunitas perlu dihadirkan disini sebagai pendekatan terhadap pemecahan persoalan yang ada. Komunitas paling merasakan persoalan, mengerti permasalahan serta pemecahannya. Berdasarkan pandangan inilah maka pembangunan komunitas secara internal dengan melibatkan pemerintah kota, serta asosiasi local baik itu pengusaha, perguruan tinggi seluruh stakeholder kota perlu dibangun bersama untuk mencegah dan mengatasi krisis lebih lanjut. Peran aktif antara pemerintah kota sebagai pihak yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Pada manajemen komunitas, sasaran kajian adalah komunitas utama pelaku usaha di Pasar Tradisional yang dipandang menjadi komponen utama dalam pelayanan perdagangan, yang meliputi pedagang kios, pedagang oprokan, pedagang pelataran, pedagang kakilima, buruh angkut, pengemudi becak, petugas parkir yang ada di kawasan tersebut.

Sasaran pengkajian secara garis besar mencukup level individu pelaku usaha, level system dan level institusi. Pada level individu diarahkan untuk mendiskripsikan mengenai karakteristik usaha dari masing-masing pelaku. Dukungan data ini diharapkan dapat menggambarkan kuantitas keseluruhan pelaku usaha yang ada, kontribusi pelaku usaha terhadap pasar dan sebaliknya, serta pelapisan social ekonomi yang terjadi. Pada level system diarahkan pada keberadaan fungsi dan peran dari norma-norma, nilai-nilai dan aturan yang terkait dengan pengelolaan pasar. Dukungan data ini diharapkan akan mampu menggambarkan kualitas interaksi social ekonomi yang melingkupi kehidupan usaha di Pasar Tradisional dan keterlekatan (embededness) yang menjadi kekuatan solidaritas dalam mekanisme pasar tradisional. Pada level institusi lebih melihat pada keberadaan lembaga-lembaga social yang ada di pasar Tradisional. Dukungan data ini akan melihat peran dan fungsi lembaga-lembaga social yang ada di masing-masing komponen komunitas serta keberadaan institusi pemerintah yang terkait langsung dengan komunitas pasar yaitu Dinas pengelola pasar, UPTD Parkir dan DLLAJ.

Sasaran pengkajian difokuskan pada pasar tradisional, baik secara internal maupun eksternal (kawasan sekitar pasar) yang digunakan untuk mendukung aktivitas ekonomi pasar tradisional.

Merevitalisasi pasar tradisional sesuai dengan masyarakat modern

Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Ciri-ciri Masyarakat Modern : (1) Hubungan antar manusia terutama didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi. (2) Hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka dengan suasana yang saling memepengaruhi (3) Kepercayaan yang kuat akan Ilmu Pengetahuan Teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (4) Masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesi yang dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan (5) Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata. (6) Hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks. (7) Ekonomi hampir seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkan atas penggunaan uang dan alat-alat pembayaran lain. Jika dilihat dari aspek mental pada masyarakat modern, maka :(1) Cenderung didasarkan pada pola piker serta pola perilaku rasional atau logis, dengan cirri-ciri menghargai karya orang lain, menghargai waktu, menghargai mutu, berpikir kreatif, efisien, produktif percaya pada diri sendiri, disiplin, dan bertanggung jawab. (2) Memiliki sifat keterbukaan, yaitu dapat menerima pandangan dan gagasan orang lain. Apabila dilihat dari pranata ekonomi, maka masyarakat modern: (1) Bertumpu pada sektor Indusri Pembagian kerja yang lebih tegas dan memiliki batas-batas yang nyata. (2) Pembagian kerja berdasarkan usia dan jenis kelamin kurang terlihat. (3) Kesamaan kesempatan kerja antar priadan wanita sangat tinggi. (4) Kurang mengenal gotong-royong. (5) Dibedakan menjadi tiga fungsi, yaitu: produksi distribusi, dan konsumsi. (6) Hampir semua kebutuhan hidup masyarakat diperoleh melalui pasar dengan menggunakan uang sebagai alat tukar yang sah. Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga.

Dari paparan tentang masyarakat modern ini, maka untuk memperoleh barang maupun jasa dibutuhkan kenyamanan yang tercakup dalam pelayanan . Hal ini ditangkap oleh pebisnis ritel modern dengan menyuguhkan pasar modern dengan pelayanan sebagai produk utama.

Pasar modern ini, sejak awal berdiri ternyata mampu menarik perhatisn besar terhadap prilaku konsumsi masyarakat. Tawaran yang disodorkan memang menjadi identitas denganh konsep yang berbeda dari pasar tradisional. Perbedaan yang paling mencolok adalah mengenai penerapan manajemen pengelolaan usaha.

Menurut Subandi dalam tulisannya di Harian Suara Merdeka edisi cetak 6 Desember 2005, dikatakan bahwa pasar modern mengedepankan konsep profesionalisme dan kualitas pelayanan untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Karena itu, desain tata bangunan sejak awal telah mempertimbangkan keterpaduan dan kenyamanan, dengan penyediaan lahan parker, ruang yang nyaman, kemudahan akses dengan transportasi umum, pemilahan jenis barang, dan pelayanan dari pramuniaga yang sangat memanjakan konsumen. Selain itu, dikenal juga konsep self service yang biasa disebut swalayan dengan manajemen harga mati.

Pasar tradisional identik dengan kondisi yang kumuh, jorok, dan umpek-umpekan. Terlebih ditambah dengan pelayanan dari pedagang yang sering memanipulasi terhadap kualitas dan kuantitas barang. Hal ini semakin mengurangi kepercayaan dan ketertarikan konsumen untuk memilih pasar tradisional sebagai ruang pemenuhan kebutuhan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Ika Dian P dari Business Wach Indonesia (BWI), tergesernya pasar tradisional bisa disebabkan oleh beberapa factor. Antara lain kurangnya sarana prasarana yang baik, kurang nyaman, kurang modal dan mahal pada produk tertentu. (Harian Suara Merdeka edisi Selasa, 6 Desember 2005)

Salah satu cara merevitalisasi atau membangun pasar tradisional baru adalah menciptakan pasar tradisional dengan berbagai fungsi, seperti tempat bersantai, berekreasi, bahkan untuk berolah seni dan raga. Karena area pasar umumnya terbatas, penataan pasar tradisional yang bersifat multifungsi harus melibatkan penataan kawasan sekitar, termasuk system transportasinya.

Pendekatan yang lebih penting, adalah menyinergikan pasar tradisional dan tempat perbelanjaan modern, sebagai kesatuan yang fungsional. Tetapi tidak dalam satu bangunan fisik, apalagi barang yang diperjual belikan hampir sama. Contoh penyinergian ini dapat dilihat di pedestrian Malioboro. Di Malioboro dapat tercipta “plaza” raksasa. Kualitas barang yang dijual di pasar tradisional harus ditingkatkan. Penjualan dalam skala kecil dan jangka waktu pendek (harian) serta tidak mempunyai standartisasi akan mengakibatkan harga turun dengan cepat, ketika barang itu mulai rusak. Pembentukan semacam paguyuban akan meningkatkan skala usaha dan kwalitas barang. Tidak setiap produsen atau pedagang tradisional harus menjual dagangannya kepada pengguna akhir secara fisik di pasar tradisional. Dengan standartisasi kwalitas, mereka dapat menjual ke pasar modern atau pasar tradisional dengan fasilitas penyimpanan, seperti pasar modern dengan skala yang lebih besar atas nama peguyubannya.

Proses transformasi untuk menyinergikan sector tradisional dan modern secara fungsional adalah yang utama dibandingkan pendekatan yang bersifat dualistik, yang selalu membenturkan sektor modern dan tradisional. Proses transformasi ini diharapkan dapat menekan hilangnya pekerjaan bagi pedagang tradisional.

Seabagai contoh, revitalisasi Pasar baru di Jakarta dapat diambil nilai moral proses penataannya. Pasar ini memiliki artefak yang masuk daftar benda cagar budaya. Pasar ini pernah mengalami masa kejayaannya, tetapi pada awal 1980 an muncul sub pusat kota yang baru sehingga magnet ekonomiberpindah. Par ini kehilangan pamor yang berujung menurunnya kualitas fisik lingkungan. Omzet menurun, karena pengunjung berpaling ke lokasi perdagangan yang lebih nyaman. Ide penataan pasar dating bukan dari pemerintah kota, tetapi dari pedagang dan pembeli setianya. Mereka berkumpul dan secara rutin bertemu untuk menggali alternative penataan. Salah satu gagasannya adalah menata kembali sirkulasi transportasi kawasan, dan mengubah penggal jalan menjadi kawasan khusus pejalan kaki, seperti pedestrian mall. Gagasan ini mendapat dukungan dan pemerintah kota membantu pendanaan untuk melanjutkan penataan fisik. Pengunjungpun mulai mengalir. Partisipasi semua pihak dalam menata ruang public sangat diperlukan, artinya pelibatan stakeholder adalah mutlak.

Contoh lain adalah kasus penataan Pasar Johar Semarang yang sampai sekarang belum tuntas. Desain pasar ini disayembarakan dan proses sayembaranya belum jelas. Akan tetapi telah diawali denga mengidentifikasi siapa pemakainya. Dicermati pula actor kunci yang turut andil memberikan keputusan terbagi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah politisi, pengusaha, investor dan penyandang dana. Kelompok kedua adalah pemerintah Kota sebagai pemberi technical advice. Kelompok terahkir adalah pemerhati, biasa akademisi dan kelompok warga dari berbagai bidang ilmu. Langkah selanjutnya adalah menyerap aspirasi semua pihak, yaitu dari para stakeholder itu. Penyerapan aspirasi tidak menggunakan public hearing karena tidak bis merepresentasikan gagasan stakeholder. Cara yang digunakan adalah mengadakan rangkaian pertemuan dalam bentuk kelompok kecil. Kelompok ini bisa berdasarkan aktivitas yang dilakukan, latar belakang keilmuan, kategori jenis dagangan, berdasar minat, tanggungjawab dll.Dalam keompok dapat terwujud diskusi produktif. Dimungkinkan kesepakatan tidak tercapai dalam waktu yang singkat. Dibutuhkan empati untuk menghasilkan keputusan matang, cermat, berhati-hati, serta kemampuan mendengar. Pengerucutan gagasan stakeholder sampai penyusunan konsep desain. Semua stakeholder diajak mengamati desain dan setiap kelompok dapat memberikan masukan. Disini stakeholder menjadi bagian rencana penataan pasar dan ikut merasa memiliki. Mereka mengikuti dan membantu menganalisa kondisi awal, mengembangkan konsep dan program manajemen, memberikan alternative desain, kelak ikut mengevaluasi aplikasi rencana desain final berikut pengelolanya.

Kendala revitalisasi

Pertama menyangkut problem tata ruang. Selama ini, para pedagang selalu berebut menempati lahan dasar (lower ground) untuk meraup keuntungan dari pembeli. Karena itu, kalau ada pembangunan, mereka khawatir lahan yang ditempati bakal digeser. Hal ini yang menyebabkan setiap ada rencana pembangunan mereka selalu menolak. Problem tata ruang ini memang cukup rumit. Mengingat hamper semua pasar tradisional tidak memiliki room programming (site plan) memadai. Itu terbukti belum adanya penyediaan sarana yang memudahkan pembeli menjelajah pasar, seperti tangga berjalan, lift, dan lahan parker. Tata ruang pasar dibiarkan begitu saja sehingga yang menempati lahan di luar lower ground selalu mendapatkan keuntungan kecil karena lebih jarang dikunjungi pembeli

Kedua, kecenderungan sosiologis pedagang pasar tradisional adalah menempatkan kecurigaan berlebihan (over curiosity) terhadap segala bentuk pembangunan. Mereka sering menyalah artikan, yakni pembangunan identik dengan penggusuran. Prasangka yang berkembang, setiap ada pembangunan berarti sewa atau pembelian stan menjadi barang mahal. Itu dipandang merugikan pedagang yang telah menempati stan pasar sebelumnya.

Dengan kondisi seperti ini, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan agar pasar bisa menjembatani berbagai kepentingan, baik pedagang, pemerintah maupun investor.

Pertama, dibutuhkan political will kuat dari pemerintah kota berupa jaminan kepada pedagang agar revitalisasi pasar benar-benar dilaksanakan. Adanya pembangunan pasar harus dilandasi garansi terhadap kelangsungan pedagang lama. Baru setelah itu, kehadiran investor diberikan rambu-rambu yang jelas agar tidak memberatkan karena terkait dengan penanaman modal.

Kondisi ini tentu harus menjadi kajian semua pihak terutama Pemkot dan Dewan agar mencari solusinya. Tugas penting yang harus dilaksanakan adalah menciptakan keserasian. Yakni, jika ada investor yang ingin membangun pasar tidak berbenturan dengan pedagang yang telah menempati pasar.

Kedua, langkah revitalisasi pasar sebaiknya diujicobakan tanpa melibatkan investor. Caranya dengan mengembalikan pembangunan kepada pedagang. Setidaknya , di tiap pasar pedagang sudah memiliki organisasi yang menghimpun pedagang atau koperasi pasar.

Yang perlu dilakukan masing-masing koperasi untuk mengelola dan mengatur pola revitalisasi itu, berapa besar beban kepemilikan stan serta penataan ruang terbuka hijau yang dibutuhkan agar pasar tidak terkesan kumuh.

Ketiga, kepada lembaga yang menjadi fasilitator pembangunan dapat memberikan kredit lunak kepada pedagang. Hal ini dimaksudkan untuk meredam munculnya gejolak bila pembangunan pasar itu dilakukan.

Pustaka :

Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

J. Smelser. 1987. Sosiologi Ekonomi, terjemahan. Penerbit Bahana Aksa.

Leksono. S., 2009. Runtuhnya Modal Sosial pasar Tradisional. CV. Citra. Malang

Mark Granovetter. 1985. Economic Action and Social Structure : The Problem of Embeddedness. American Journal of Sociology. Cambridge

Mark Granovetter & Richard Swedberg, 1992. The Sociology of Economic Life. Westview Press. Boulder.San Fracisco. Oxfort

Max Weber. 1978. Economiy and Society. Vol 2 Edited and Translated in part by Guenther Roth and Claus Wittich. Bedminister. New York.

Scumpeter Joseph A dalam Simitro Djojohadikusumo. 1981. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Rabu, 21 Maret 2012

Budaya Urbanisasi di Perkotaan. (Oleh : Dra. L.V.Ratna Devi S. M.Si. )

Urbanisasi yang dilakukan oleh kaum boro dalam prosesnya adalah perkembangan kota, dan budaya kota ke daerah-daerah di sekitarnya sebagai daya tarik penduduk ke kota serta penyebaran pengaruh cara hidup di kota Surakarta. Cara hidup yang dibawa masuk ke kota Surakarta oleh masing-masing pendatang, menyebabkan terjadinya percampuran. Jika pencampuran ini terinternalized dalam kehidupan sehari-hari dan dalam sebaran yang luas, maka jadilah cara hidup ini sebagai kebiasaan yang pada tingkatan tertentu menjadi budaya.

Budaya urbanisasi diperkotaan, ternyata dapat diurai menjadi 5 konsepsi yang dipahami oleh masyarakat pendatang. 6 komunitas yang menjadi sampel dalam penelitian ini yaitu; Komunitas Sopir (Orang Jalanan), Komunitas Pedagang Pasar Tradisional, Komunitas Anak jalanan, Komunitas Punk, Komunitas Bisnisman dan Komunitas Pemukiman Liar, diharapkan mampu memberi gambaran budaya urbanisasi di Perkotaan.

Pada umumnya (dari 6 komunitas sampel) memberi penjelasan tentang konsepsi citra kota, bahwa citra kota dilihat dari kenyamanan tinggal dan kesan terhadap kota. Meskipun ditemukan 2 karakter interaksi/pergaulan,2 model hubungan sosial dan 3 macam kesan terhadap kota saat ini mereka tinggal dan sebagai tempat mengais rejeki, tetapi citra kota dikonsepkan oleg para pendatang ini, sesuai dengan perilaku keseharian mereka, dalam berinteraksi maupun berhubungan sosial, sehingga menimbulkan kesan terhadap kota. Bagi komunitas yang oleh lingkungannya tidak dapat diterima (komunitas Punk), citra kota yang terbentuk adalah citra yang menyebabkan diri mereka tidak nyaman, merasa terpinggirkan dan merasa kurang harmonis saat berhubungan sosial maupun berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini dikarenakan mereka berbeda dengan lingkungannya. Berbeda dengan komunitas yang tinggal di lingkungan yang budayanya sama dengan mereka (Komunitas permukiman liar, komunitas sopir/orang jalanan, komunitas anak jalanan), apalagi budaya dan kebiasaan yang berasal dari tempat tinggal mereka semula. Mereka nyaman, dan merasa baik-baik saja, meskipun tidak memberi kontribusi terhadap kemapanan hidup yang mereka impikan. Memang ada juga komunitas yang cepat beradaptasi (komunitas bisnisman, komunitas pasaar tradisional) dengan lingkungan baru mereka baik di tempat tinggal maupun di tempat kerja. Mereka merasa kota Solo adalah kota yang banyak memiliki peluang usaha, banyak pembeli, dan banyak barang yang ditawarkan.

Konsepsi tentang tanah dan kepemilikan tanah bagi kaum pendatang ini dikonsepkan sebagai berikut; konsepsi tentang tanah , tanah untuk omah dan tanah untuk omah serta tempat usaha. Rumah/Omah adalah tempat mereka berteduk dari hujan dan panas. Melepas lelah setelah selesai bekerja, bagi yang membawa keluarga tempat berkumpul dan bertemu keluarga. Datang ke kota tujuannya adalah mencari peningkatan taraf hidup lebih baik, maka Rumah adalah yang harus dimiliki sebagai tanda keberhasilan, kemapanan dan prestise yang harus diraih. Apalagi rumah sebagi tempat tinggal sekaligus sebagai tempat usaha, benar-benar merupakan value yang harus diraih. Adapun kepemilikan tanah dikonsepkan suatu keharusan yang perlu dicapai, karena dengan memiliki tanah, yang dapat dibangun rumah, akan mengurangi biaya sewa, baik untuk tempat tinggal, gudang, tempat usaha. Konsep ini mubncul karena adanya kebiasaan dalam menggunakan tanah. Apalagi di kota, tanah yang sempit dan mahal, menjadi sebuah prestise tersendiri jika memilikinya, dan penggunaan tanah ini adalah untuk rumah. Sering yang disebut rumah ini tidak layak huni, karena tidak memiliki WC, tempat cuci, dan ruang-ruang lain yang seharusnya ada dalam rumah. Tetapi mereka tetap membuat rumah bagi mereka, untukntempat pulang.

Konsepsi tentang jarak sosial, dikonsepkan oleh para pendatang dengan 3 hal, yaitu kebersamaan dengan keluarga besar , hubungan di tempat kerja dan kebertetanggaan. Ketiga hal ini sangat berkaitan dengan jam kerja. Waktu yang digunakan untuk bekerja rata-rata 6 – 12 jam perhari, menyebabkan sangat jarang sekali bertemu dengan keluarga besar. Hanya satu tahun sekali di hari besar keagamaan maupun jika ada perhelatan saja dirumah keluarga,. Dan arisan mereka baru dapat bertemu. Bahkan mereka yang tidak tinggal dengan keluarga intinya (nuclea family) juga tidak dapat bertemu setiap saat. Hubungan ditempat kerja mereka lakukan ditempat kerja saja, dan jika ada keperluan mereka menghubungi lewat telpun selular. Tidak semua pekerjaan menimbulkan pertemanan yang akrab, jika pekerjaan dilakukan sendiri maka tidak ada teman akrab. Demikian juga dengan kebertetanggan, waktu kerja yang panjang, tidak memungkinakan mereka menjumpai tetangganya. Jadi konsepsi mereka tentang jarak sosial sangat dipengaruhi oleh waktu bekerja yang rata-rata panjang, bahkan seharian.

Konsepsi penguasaan kota pada suatu wilayah perkotaan menurut mereka adalah penguasaan yang berkaitan dengan perkembangan kota. Bidang yang paling menonjol dan dianggap menguasai kota adalah bidah seni dan budaya. Bidang ini banyak diprakarsai pemerintah kota, sehingga menimbulkan persepsi bahwa yang menguasai kota adalah pemerintah, terutama walikota. Adapun yang duduk di pemerintahan kebanyakan etnis Jawa, sehingga mereka menganggap bahwa etnis Jawalah yang menguasai kota. Meskipun ada jiga bidang lain yang juga tak kalang menonjolnya, yaitu bidang ekonomi, yang menurut anggapan mereka banyak dukuasai etnis Cina. Jika bicara dari sisi ekonomi maka etnis Cina lah yang berkuasa. Maka konsep penguasaan kota sangat berkaitan dengan penguasa kota baik perseorangan maupun kelompok.

Konsepsi Ruang politis pada suatu wilayah perkotaan, dikonsepkan oleh mereka suatu tempat yang dapat menampung aspirasi untuk mempertahankan eksistensi, dan sebagai ruang aktualisasi mereka. Perkumpulan yang ada di temmpat tinggal dan di tempat kerja dibentuk untuk kebutuhan tersebut, sebagi tempat mereka berkegiatan selain bekerja. Berkegiatan di perkumpulan ini bukan untuk sesuatu kontribusi mendapatkan peningkatan taraf hidup, tetapi lebih sebagai tempat pengakuan komunitas terhadap keberadaan/eksistensi mereka. Oleh sebab itu meskipun sebagai anggota tetapi tidak berpartisipasi secara maksimal. Ada kegiatan ya ikut, tidak ikut sebagi pengurus maupun sebagai pengambil keputusan. Rata-rata mereka tergabung dalam perkumpulan ini.

Konsepsi tentang ruang perkotaan , dikonsepkan oleh mereka bahwa bahwa kota terdiri dari tempat-tempat yang dulu sepi sekarang ramai. Penduduk makin memadati ruang-ruang di kota yang dulu kosong. Pembangunan meluas menempati ruang-ruang yang dulu belum ada bangunannya. Sebagai akibatnya ruang dipenuhi juga saranasaran yang menghubungakan satu ruang yang ramai dengan ruang yang lain. Hal ini disebabkan pendatang baru yang masuk ke kota semakin hari semakin banyak.